SUMBER – Kementerian Ketenagakerjaan, Pemerintah Kabupaten Cirebon, Program Safe and Fair ILO-UN Women, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Cirebon dan Women Crisis Center Mawar Balqis meresmikan Pusat Informasi dan Layanan Terpadu Satu Atap yang Responsif Gender atau (Migrant Worker Resourse Center (MRC) Kabupaten Cirebon di LTSA P3MI Slamet Riyadi, Krucuk, Kota Cirebon, Kamis (10/6/2021). Peresmian ini akan dilakukan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dan Bupati Cirebon, Imron Rosyadi.
Pengintegrasian Layanan Migrant Worker Resources Centre (MRC) dengan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA)-P2MI yang Responsif Gender ini merupakan model percontohan pertama di Indonesia dan ASEAN sebagai bentuk kerja sama multi pihak antara pemerintah, serikat buruh migran dan pusat krisis perempuan dalam membangun layanan terpadu dan terkoordinasi sesuai mandat Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) No. 18/2017 untuk meningkatkan pelindungan PMI perempuan dan keluarganya di setiap tahapan migrasi, termasuk dari tingkatan desa.
Program MRC ini juga didukung oleh program Safe and Fair: Realizing women migrant workers’ rights and opportunities in the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), sebuah program bersama ILO dan UN Women. Dengan dukungan Uni Eropa, Program Safe and Fair bertujuan untuk memastikan migrasi yang aman dan adil bagi semua perempuan di ASEAN, termasuk Indonesia.
Ida Fauziyah, Menteri Ketenagakerjaan, menegaskan bahwa melalui pengintegrasian MRC-LTSA diharapkan dapat semakin meningkatkan fungsi Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) untuk Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran secara optimal, mempermudah akses dan memberikan layanan perlindungan yang menyeluruh dan responsif gender bagi PMI.
“Program ini memberikan jangkauan layanan hingga ke desa-desa dalam bentuk, di antaranya, konsultasi pra-kerja, layanan psiko-sosial konseling, penanganan kasus, layanan bantuan hukum, pelatihan calon PMI dan dan penyediaan informasi otoritatif,” kata dia.
Sementara Vincent Piket, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 telah meningkatkan risiko terjadinya pelanggaran hak-hak pekerja migran. Pandemi juga menyebabkan sulitnya para pekerja migran mengakses berbagai fasilitas layanan. Oleh karena itu pelayanan satu atap yang disediakan oleh Migrant Resource Centres menjadi penting bagi pekerja migran di Indonesia, khususnya pekerja migran perempuan.
“Uni Eropa bangga dapat bekerja sama dengan berbagai pihak dalam upaya penyediaan jasa pelayanan yang berkualitas bagi pekerja migran Indonesia,” katanya.
Selain itu program MRC juga melaksanakan rangkaian penguatan untuk pendataan, tata kelola migrasi tenaga kerja yang responsif gender di tingkat desa, penguatan kapasitas bagi aparatur pemerintah daerah dan penyedia layanan lainnya, penguatan koordinasi dan dialog sosial melalui pelaksanaan forum tripartit plus bagi perlindungan PMI di tingkat kabupaten dan kecamatan. Kegiatan lainnya mencakup penguatan pusat informasi desa dan satuan tugas desa untuk perlindungan PMI, termasuk dukungan terhadap program berbasis desa yang telah banyak digagas baik oleh pemerintah maupun organisasi non-pemerintah seperti di antaranya Desa Migran Produktif (Desmigratif), Komunitas Keluarga Buruh Migran (KKBM) dan sebagainya.
Christa Rader, Kepala Perwakilan PBB Indonesia Ad Interim, menyatakan bahwa kerja sama ini menunjukan komitmen bersama dalam pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) pada 2030, khususnya berkaitan dengan Tujuan No. 5 mengenai Kesetaraan Gender, No. 8 mengenai Pekerjaan yang Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, dan No. 10 mengenai Berkurangnya Kesenjangan di Dalam dan Antar Negara.
“Melalui upaya pemberdayaan dan memberikan perlindungan hak atas kelompok pekerja dan masyarakat yang rentan akan mempercepat pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.
Kabupaten Cirebon termasuk salah satu wilayah pengirim PMI yang tergolong cukup tinggi. Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menyebutkan Kabupaten Cirebon menempati urutan ketiga kabupaten pengirim PMI terbesar setelah Kabupaten Indramayu dan Lombok Timur dengan jumlah penempatan sebesar 10.185 orang pada 2018 dan 11.829 pada 2019.
Laporan World Bank tahun 2017 memperkirakan ada sekitar sembilan juta PMI yang bekerja ke luar negeri. Pada 2016, Pekerja Migran Indonesia mengirim lebih dari Rp 118 triliun kembali ke Indonesia dan data Bank Indonesia pada 2018 menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan dari remitansi PMI sebagai penyumbang devisa sebesar US$ 8,8 miliar atau Rp 127,6 triliun. Kontribusi remitansi ini diperoleh dari PMI yang sebagian besar adalah perempuan.
Namun demikian, besarnya jumlah remitansi yang dikontribusikan PMI pada pembangunan baik di negara asal dan tujuan ini tidak berbanding lurus dengan upaya perlindungan. Para PMI masih mengalami kasus-kasus kekerasan, penipuan, jeratan hutang, penelantaran anak, perceraian hingga gangguan kejiwaan yang hingga saat ini belum tertangani secara baik.
BP2MI juga mencatat adanya peningkatan jumlah pengaduan kasus PMI asal Kabupaten Cirebon dari 86 pada 2018 menjadi 278 pada 2019. Kasus-kasus dihadapi umumnya berupa hilang kontak, gaji tidak dibayar, kekerasan fisik dan penempatan unprosedural. Mei Hariyanti, PMI asal Cirebon, misalnya, mengalami penganiayaan dan dipaksa tidur diteras selama 13 bulan saat bekerja Malaysia.
Kasus-kasus yang dilaporkan pada masa pandemi Covid-19 pada umumnya terkait dengan proses pemulangan atau ketidakpastian pemberangkatan PMI. Sebanyak 12 kasus yang dilaporkan oleh calon PMI perempuan, contohnya, mengalami penipuan dengan tidak kunjung diberangkatkan ke Taiwan kendati telah membayar puluhan juta rupiah.
“Kasus-kasus pencurian upah juga menimpa para PMI yang masih tertahan di negara asal, termasuk tidak adanya kompensasi atas dampak kebijakan bekerja dari rumah yang memaksa PMI bekerja siang malam, termasuk melayani anak-anak majikan yang harus belajar dari rumah,” tutur dia.
Berbagai kasus dan fakta di lapangan tersebut menegaskan pentingnya keseriusan atas penerapan mandat UU PPMI, khususnya dalam menjamin pelayanan informasi dan pelindungan sejak dari tingkat desa guna mencegah terulangnya kasus-kasus serupa. Pelibatan pemerintah desa dan peningkatan peran desa yang telah dimaktubkan dalam pasal 42 UU PPMI ini dinilai sebagai kebijakan yang dapat memutus mata rantai perdagangan orang dan juga kasus-kasus PMI lainnya. Layanan di tingkat daerah hingga ke desa ini menjadi upaya untuk lebih mendekatkan pelayanan pada komunitas masyarakat asal pekerja migran. [MC-02]