Mediacirebon.id – Teka-teki tanah seluas 1.680 meterpersegi di Blok Sigardu Desa Tuk Kecamatan, Kedawung, Kabupaten Cirebon berlahan mulai terungkap. Pemerintah desa Tuk berani menunjukkan dokumem buku besar Daftar Ketetapan Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) tahun 1960
Dokumen buku besar IPEDA berisi data tanah yang ada di desa. Buku besar desa dibuat sejak pemerintah desa berdiri. Bukan hanya data dalam buku besar desa terdapat letak dan ukuran tanah.
Kepala Desa Tuk Paturohim Wijaya menjelaskan berdasarkan dokumem buku besar tercatat dengan Persil 50 dan 51 kohir C-382, di Letter C 50 tercatat luas 600 meter persegi, dan Letter C 51 tercatat luas 1050 meter persegi, atas nama R Sopiah.
“Kami memiliki dokumen lama yang jelas menunjukkan keberadaan tanah Cipto MK,” kata Paturohim kepada wartawan, Kamis (13/11/2025)
Selain IPEDA, peta lama yang dimiliki Pemdes Tuk menunjukkan bahwa lokasi tanah Cipto yang disengketakan ini masuk wilayah Desa Tuk. Karena perbatasan Kota dan Kabupaten Cirebon di titik tersebut adalah jalan besar, atau saat ini dikenal dengan jalan Cipto MK.
“Asal-usulnya tanah adat, kita ada dua peta, dan batas wilayah kita dengan kota itu untuk lokasi tersebut adalah jalan Cipto,” lanjut Paturohim.
Masih berdasarkan dokumen buku besar, tanah tersebut tercatat atas nama R Sopiah. Dia menegaskan tanah tersebut bukan tanah adat atau tanah wewengkon. “Dokumen yang kami miliki sangat jelas jadi kami pastikan tanah terdata di buku besar,” jelasnya.
Bukan hanya keterangan dari kepala desa, saksi ahli, Ana Silviana dalam persidangan di Pengadilan Negeri Sumber menjelaskan bahwa tanah yang diklaim sebagai tanah wewengkon tidak bisa diakui setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
“Tanah wewengkon diklasifikasikan atau disamakan dengan tanah ulayat. Namun, berdasarkan pasal 3 UUPA, pengakuan terhadap tanah ulayat harus memenuhi syarat adanya masyarakat hukum adat yang masih hidup dan sistem pengelolaan adat yang masih berlaku,” jelasnya.
Ia menegaskan, kepemilikan tanah ulayat bersifat komunal, bukan individual. Oleh karena itu, jika tidak terdapat masyarakat adat yang menguasai dan mengelola tanah secara adat, maka status tanah tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tanah ulayat.
“Dalam konteks tanah wewengkon keraton, saya mengkualifikasikan bahwa tanah itu bukan termasuk tanah ulayat. Apalagi, keluarga keraton bukan merupakan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan UUPA,” tegasnya.
Ana menambahkan, meskipun secara historis Keraton Kasepuhan tidak memiliki perjanjian politik dengan pemerintah Hindia Belanda, hal itu tidak otomatis menjadikan tanah tersebut milik keraton. Berdasarkan hukum agraria, tanah semacam itu menjadi milik negara dan berada dalam kewenangan pengelolaan pemerintah.
“Dengan dasar tersebut, maka dapat dikatakan tanah tersebut bukan lagi tanah wewengkon, melainkan tanah negara,” pungkasnya. (Why)
