Mediacirebon.id – Negara hukum merupakan negara yang menganut faham atau aliran positivism. Aliran positivism ini yang kemudian berpengaruh pada cara berhukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Di mana, cara berhukum yang lebih mengutamakan aspek legal-formal, yang didasari oleh aturan hukum normatif, dan berdasarkan undang-undang tertulis. Karena itu, berhukum dengan hukum positif Negara lebih mengutamakan aspek kepastian hukum daripada keadilan hukum bagi masyarakat.
Keadilan menurut pandangan Islam merupakan tonggak kehidupan seseorangyang berhati nurani karena dengankuatnya standard of Morality, maka akan mampu meletakkan suatu perkara secara proporsional dan terbebas dari keberpihakan atau kepentingan sepihak/golongan. Keadilan tidak dapat dipengaruhi oleh perasaan bahagia, terpaksa, permusuhan, tahta, dan lain-lain. Adil di kacamata Islam adaah salah satu norma yang menunjukkan tingkat ketaqwaan seseorang muslim terhadap ajaran yang diwahyukan olehAllah SWT ke Nabi Besar Muhammad SAW (Rangkuti,A.,2017).
Aristoteles merupakan seorang filosof yang pertamakali merumuskan arti keadilan. Beliau memasrahkan bahwa keadilan adalah memberikan hak kepada setiap orang apa yang sudah menjadi haknya. Selanjutnya dia membagikeadilan dibagi menjadi dua bentuk yaitu : Pertama, keadilan distributif, merupakan keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasidan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang (Amin, 2019).
Penerapan ketidakadilan hukum atas masyarakat miskin di negara ini kerapkali terjadi. Para aparat penegak hukum lebih mengedepankan aspek kepastian hukum, legalitas-formal, dari pada keadilan hukum yang lebih substansial bagi masyarakat. Menurut Budiman Tanuredjo, hukum dapat dipermainkan dan diputarbalikan, terlebih lagi menimpa wong cilik. Banyak riwayat anak manusia ketika berhadapan dengan hukum. Terlihat, bahwa manusia yang lemah harus bertentangan dengan hukum yang karut-marut yang hanya sekadar mencari kebenaran formal, bukan kebenaran substansial. Rakyat yang buta hukum harus berhadapan dengan penegak hukum yang menguasai bicara pasal dan punya sifat yang memanfaatkan mereka yang lemah.
Masyarakat miskin kerap kali menjadi korban dari penegakkan hukum yang tidak adil. Kita sering mendengar cerita sosial yang berkembang dan menjadi pembincangan di tengah kehidupan masyarakat terkait dengan penegakan hukum atas masyarakat miskin ini; “jika si miskin melaporkan kasus penggelapan ayam ke pihak kepolisian, maka ia akan kehilangan sapi”. Pernyataan ini tentunya menusuk praktik penegakkan hukum di negeri ini. Dalam bahasa yang lebih keras, Prof. Armada,mengatakan ranah hukum Indonesia kini krisis mendapat wajah baru, Penindas!. Betapa tidak masalah sepele, yang menimpa kaum alit dengan kerugian yang tidak seberapa, para aparat penegak hukum begitu melewati seperangkat hukumnya-memperlakukan mereka. Mereka salah satu dari sekian korban “kebuasan” sistem hukum yang karut marut di negeri ini.
Dalam realitasnya, masyarakat miskin begitu mudah menjadi korban ketidakadilan hukum di negara ini. Proses penegakkan hukum seringkali melahirkan ketidakdilan hukum. Dan ketidakdilan hukum ini berawal dari bekerjanya hukum dalam sebuah sistemnya. Ketika hukum putuskan dari konteks sosialnya, maka hukum akan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Dan inilah yang sekarang sedang menjadi sorotan masyarakat luas. Aparat penegak hukum melihat dan memahami (kasus) hukum hanya pada teks-teks “kaku” yang ada dalam aturan perundang-undangan semata,legalistic-positivistik, tanpa berusaha memahamikasus hukum tersebut dalam konteks sosiologisnya (Sholahudin, 2016).
Contohnya pada kasus tahun 2014 seorang nenek Asyani yang harus duduk di kursi kesaktian karena menjadi seorang terdakwa mencuri kayu jati dari kawasan hutan produksi pada 7 Juli 2014 lalu. Nenek Asyani dijerat pasal 12 junco Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Pencegahan dan pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman 5 tahun di penjara. Padahal nenek Asyani mengambil kayu jati pada lahan miliknya sendiri yang terletak di Dusun Secangan, Situbondo. Kasus ini cukup viral pada era saat itu dan cukup menarik perhatian sorotan publik. Tetapi tidak dengan negara hukum ini mentri lingkungan hidup dan kehutanan Siti Nurbaya bahkan khusus meminta nenek Asyani untuk ditahan dan hampir 3 bulan dibui dapat ditangguhkan. Tetapi sebelum majelis hakim mengabulkan permohonan penangguhan penahanan melalui pemutusan sela yang dibacakan di pengadilan Pengadilan Negeri Situbondo, jelas-jelas para politikus mengumbar simpati dan menyatakan bersedia sebagai penjamin nenek Asyani. Sudahkan negara hukum ini adil? Memang rakyat miskin selalu dijadikan alat legitimasi dan permainan politik. Bahkan negara ini kurang peduli pada substansi dan advokasi porsoalan hukum yang dialami masyarak miskin. Mereka lebih tertarik pada kemasan dan memanfaatkanya sebagai isu yang seksi untuk mendulang dukungan.
Contoh lain yaitu remaja divonis 1 tahun pembinaan usai bela diri dari begal. Seorang siswa SMA di kabupaten Malanag pada tahun 2019 berinisial ZA. Ia dan teman perempuannya didatangi oleh tiga orang yang bermaksud menyita motor dan ponselnya di jalan. Kawasan tersebut bahkan melontarkan niat ingin memperkosa teman perempuan ZA. Ia yang merasa terancam dengan situasi tersebut kemudian mengambil pisau dari jok motornya dan menusukkanya pada dada salah satu seorang dari kawasan tersebut. Pisau milik ZA merupakan pisau yang digunakan untuk praktik disekolah. Hakim kemudian memvonis ZA dengan pidana pembinaan selama satu tahun di Lembaga Kesejahteraaan Sosial Anak (LKSA) Darul Aitam, kabupaten Malang. Ia dinyatakan bersalah menunaikan penganiayaan yang menyebabkan orang lain meninggal dunia. Padahal ia melakuakan itu karena terdesak dalam kondisi terancam kenapa tetap di pidana hingga satu tahun lamaanya? Bahkan nyawa ZA dan teman perempuanya juga menjadi taruhan pada saat itu. Jika kita diposisi tersebut besar kemungkinan kita melakukan hal yang sama dengan ZA dan tentunya ZA melakukan hal tersebut dengan kondisi yang panik sehingga tidak memikirkan akibat dari perbuatanya tersebut.
Keadilan, Memang tidak semudah membalik telapak tangan bahwa menyatakan suatu pemerintahan atau dalam masyarakat sudah berbuat adil. Untuk menciptakan suatu pemerintahan yang adil sudah pasti akan menuai banyakprotes-protes dari berbagai kalangan yang merasa tidak terpenuhi aspirasinya, tetapiyang penting dalam suatu pemerintahanyang adil harus terjadi pembagiankewenangan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sehingga terlihat ketigabagian tersebut berjalan seiring (satu langkah), karena keadilan itu hanya merupakan alat untuk melaksanakan hukum kepada semua orang dengan tidak boleh memandang perbedaan maupun kedudukannya (Sholahudin, 2016).
Berdasarkan paparan di atas, dapat diambil kesimpulan keadilan menurut konsep Aristoteles mesti dipahami dalam pengertian kesamaan, yaitu kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Program penegakkan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan,yaitu: pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasandasar yang paling luas seluas kebebasa nyang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu menata kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat menadah keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.
Fujiyati (2281060089)
Mahasiswi Jurusan Tadris Biologi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
SUMBER :
Amin, S. (2019). KEADILAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM TERHADAP MASYARAKAT. EL-AFKAR : Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis, 8(1), 1. https://doi.org/10.29300/jpkth.v8i1.1997
Sholahudin, U. (2016). Hukum dan Keadilan Masyarakat (Analisis Sosiologi Hukum terhadap Kasus Hukum Masyarakat Miskin “Asyani” di Kabupaten Situbondo). 9(1).
Rangkuti, A. (2017). Konsep Keadilan dalam Perspektip Islam. Jurnal Pendidikan Islam. 6(1).