Mediacirebon.id – Stigma masyarakat tentang perempuan yang berpendidikan tinggi tentu sudah tidak asing terdengar, baik dalam konteks sosial media maupun konteks langsung. Apakah budaya stigma masyarakat tersebut akan terus berlanjut? Atau bahkan hal tersebut sudah menjadi maklum? Saya sebagai mahasiswa tentu tidak berpihak terhadap stigma tersebut, yang katanya “perempuan ngapain sih sekolah tinggi-tinggi? toh ujung-ujungnya hanya di dapur, ngurus anak dan suami’.Sangat disayangkan, sampai sekarang masih ada sekelompok masyarakat yang beranggapan bahwa pendidikan tidak penting bagi kaum perempuan, mereka membatasi hak-hak perempuan yang bertekad meneruskan pendidikan guna agar kelak menjadi pendidik bagi anak-anak penerus bangsa. Seharusnya tekad tersebut mendapatkan dukungan dan bimbingan bukan stigma yang menjatuhkan tersebut.
Bagaimana bisa pemikiran tersebut masih beredar di masyarakat, sedangkan dulu R.A Kartini sangat memperjuangkan hak-hak para wanita agar bisa bersekolah, agar bisa menjadi pendidik yang semestinya. Bagaimana bisa seorang wanita disalahkan hanya karena memilih untuk melanjutkan pendidikannya. “Perempuan selalu diekspektasikan sebagai makhluk yang harus selalu di bawah laki-laki dan harus menuruti apa yang lingkungan inginkan. Padahal seharusnya perempuan memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki, perempuan bisa memilih apa saja yang terbaik menurutnya, perempuan berhak memiliki mimpi sebesar mungkin. Tidak ada batasan tertentu bagi perempuan sebagaimana tidak ada batasan tertentu bagi seorang laki-laki”. Sudah saatnya masyarakat paham akan kesetaraan gender, yang sejak lama sudah dikukuhkan oleh para pendahulu.
Andaikan lingkungan sejak semula memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan untuk mahir diberbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti yang dilakukan pada anak laki-laki pada umumnya, tentu perempuan tidak akan mengalami ketertinggalan. Sebagai mana ada pepatah yang sering kita dengar “wanita adalah tiang negara, apabila wanitanya baik maka negaranya akan baik, apabila wanitanya rusak maka negara itu akan rusak pula”. Dari pepatah ini bisa kita simpulkan bahwa betapa besarnya pengaruh seorang wanita dalam kehidupan ini, jika seorang wanita baik, pintar, dan berakhlak mulia maka mereka akan bisa mewujudkan para pemimpin yang hebat untuk suatu negara.
Persepsi negatif dari masyarakat terhadap tercapainya pendidikan seorang perempuan hingga saat ini masih belum berakhir dalam lingkungan masyarakat luas terutama pada lingkungan masyarakat yang masih menganut budaya patriarki dimana hal ini tentunya membuat perempuan secara otomatis merasa terdiskriminasikan. Hingga saat ini masyarakat belum bisa menerapkan paham kesetaraan gender secara mutlak. Selalu ada pihak yang merendahkan harkat dan martabat seorang perempuan. Selain itu, ada pula pelabelan yang menunjukkan bahwa laki-laki digambarkan menjadi sosok yang kuat dan rasional, sedangkan perempuan digambarkan lembut halus, emosional dan keibuan. Perempuan juga identik dengan pekerjaan rumah tangga dan memiliki peluang untuk keluar rumah dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang sangat terbatas. Sebaliknya laki-laki memiliki kesempatan untuk bekerja diluar rumah karena laki-laki dianggap sebagai pemimpin dan dapat mengambil keputusan, sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Beberapa stigma tersebut yang pada akhirnya membuat masyarakat beranggapan bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan setinggi mungkin karena ujung-ujungnya hanya akan menjadi ibu rumah tangga yaitu mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan domestik. Walaupun zaman sudah semakin maju dan banyak gerakan feminisme yang menuntut adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, stigma yang sudah tertanam dalam masyarakat sangat sulit untuk dihilangkan.
Banyak yang harus dilakukan dan dibuktikan untuk dapat meruntuhkan stigma yang telah mengakar kuat pada masyarakat kita. Dengan maraknya perkembangan teknologi dan majunya pikiran generasi muda saat ini, saya berharap stigma mengenai wanita berpendidikan tinggi akan susah mendapatkan pasangan akan hilang dan berganti dengan pemikiran bahwa seorang wanita harus berpendidikan tinggi untuk dirinya sendiri dan kebaikan manusia lainnya. Saat ini, upaya yang dapat kita lakukan adalah terus menggaungkan pernyataan mengenai kesetaraan hak antara pria dan wanita hingga seorang wanita merdeka dalam memilih sesuai dengan kehendaknya.
Upaya pemberdayaan perempuan adalah bagian kesatuan dari upaya pembangunan nasional. Oleh karena itu, upaya untuk memberdayakan perempuan harus menjadi upaya yang berkelanjutan dan sesuai dengan dinamika perubahan sosial budaya ataupun ekonomi yang berlangsung secara cepat dalam era globalisasi saat ini. Sasaran program pemberdayaan perempuan atau empowerment of women diarahkan untuk mengembangkan dan mematangkan berbagai potensi yang ada pada diri perempuan untuk memanfaatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki, serta untuk memanfaatkan hak dan kesempatan yang sama terhadap sumber daya pembangunan. Sehingga hal ini akan menjadikan perempuan Indonesia mampu mengembangkan kapasitas dirinya untuk aktualisasi perannya sebagai mitra sejajar laki-laki dalam pembangunan keluarga dan bangsa. Oleh karena itu, perempuan Indonesia harus mampu memerankan peran domestik dan publik secara seimbang agar mampu memperoleh kesetaraan tugas dan kewajiban yang diperankan dalam menghadapi tantangan di era globalisasi.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 11 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjelaskan mengenai hak perempuan dalam pendidikan, sebagaimana yang di atur dalam Pasal 2 Ayat (4) yang berbunyi:” Hak perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang ketenagakerjaan, bidang politik, bidang hukum, bidang ekonomi budaya dan sosial.”9 Adapun mengenai perlindungan terhadap hak-hak perempuan di atur dalam Pasal 3 Ayat (3) yang berbunyi: ”Pemerintah Daerah wajib menjamin perlindungan hak perempuan”.10 Meskipun tidak di jelaskan hak apa saja yang di lindungi dalam pasal tersebut. Namun peraturan tersebut memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan yang menuju pada rencana pembangunan daerah yang berperspektif gender. Yang di mana penyusunan rencana pembangunan tersebut meliputi rencana jangka panjang, rencana jangka menengah dan rencana kerja pemerintah daerah.
“Perjuangan Ibu Kartini dalam menyetarakan hak antara pria dan wanita harus kita teruskan” Hingga nantinya tidak ada lagi stigma buruk masyarakat yang harus diterima wanita atas pilihan yang diambilnya. Wanita berhak mendapatkan pendidikan tinggi tanpa konsekuensi apapun.
Penulis : Siti Roudotul Jannah
Mahasiswa Semester 2 Tadris Biologi IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Febryka, L. (2016). Upaya Perlindungan Hukum Secara Terpadu Bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Negara Hukum.
Nabila Azzahra. (2022). Kumparan.com. Stigma Masyarakat Terhadap Wanita Berpendidikan Tinggi. Retrieved April 09, 2023, from
https://kumparan.com/nabila-azzahra-1653630207563667228/stigma-masyarakat-terhadap-
wanita-berpendidikan-tinggi-1y9hy6IiBYS/full
Zalfa Nur Alya. (2022). Kompasiana.com. Stigmatisasi Masyarakat Terhadap Perempuan Berpendidikan Tinggi. Retrieved April 09, 2023, from
kompasiana.com/zalfanuralya0812/637e555108a8b52c5928c8d2/stigmatisasi-masyarakat-terhadap-perempuan-berpendidikan-tinggi