Mediacirebon.id – Di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi, data menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia justru semakin permisif terhadap perilaku korupsi. Penurunan skor Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) pada tahun 2024 menjadi alarm serius bagi bangsa. Penurunan ini menggambarkan bahwa sikap masyarakat terhadap korupsi mulai bergeser, bukan lagi dianggap sebagai masalah moral besar, melainkan hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Sikap permisif ini menjadi tantangan baru dalam memberantas korupsi yang sudah mengakar di sistem sosial dan pemerintahan.
IPAK adalah alat ukur yang dirancang untuk menilai kesadaran dan perilaku masyarakat dalam melawan korupsi. Disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan survei di berbagai daerah, IPAK mencerminkan sejauh mana masyarakat mendukung nilai-nilai antikorupsi dan menolak segala bentuk praktik korupsi, seperti suap, gratifikasi, atau penyalahgunaan wewenang.
IPAK sering digunakan sebagai indikator keberhasilan program antikorupsi di Indonesia. Pada tahun-tahun sebelumnya, kenaikan skor IPAK menjadi bukti bahwa kesadaran masyarakat terhadap bahaya korupsi mulai meningkat. Namun, penurunan skor IPAK pada tahun 2024 mengindikasikan adanya tantangan besar yang perlu segera diatasi.
Berdasarkan laporan terbaru BPS, skor IPAK Indonesia pada 2024 mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Penurunan ini tidak terjadi tanpa sebab. Ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi tren.
Pertama, tata kelola pemerintahan yang tidak transparan dan akuntabel menciptakan ruang bagi perilaku korupsi untuk tumbuh. Kebijakan tidak adil, pengelolaan anggaran tidak efisien, atau proyek pemerintah yang sarat korupsi membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Ketika masyarakat tidak lagi percaya pada sistem, mereka cenderung menjadi apatis dan permisif terhadap korupsi.
Kedua, korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan tokoh publik semakin sering terungkap. Ironisnya, hukuman yang dijatuhkan sering kali dianggap ringan dan tidak memberikan efek jera. Situasi ini menanamkan persepsi bahwa korupsi adalah hal yang “biasa terjadi” dalam sistem pemerintahan dan tidak ada risiko besar bagi pelakunya.
Ketiga, apatisme masyarakat terhadap pemberantasan korupsi. Masyarakat yang terus-menerus disuguhkan berita tentang korupsi besar, tetapi tidak melihat perubahan signifikan, cenderung menjadi apatis. Ketika pelaporan atau protes dianggap tidak membawa dampak, masyarakat memilih untuk bersikap pasif.
Terakhir, budaya dan burmalisasi perilaku koruptif. Dalam beberapa konteks budaya, praktik seperti memberikan “uang pelicin” untuk mempercepat urusan atau memberikan hadiah kepada pejabat sering kali dianggap wajar. Normalisasi perilaku ini memperburuk tingkat permisivitas masyarakat terhadap korupsi, sehingga korupsi tidak lagi dipandang sebagai pelanggaran serius.
Penurunan skor IPAK tidak hanya mencerminkan masalah sosial, tetapi juga memiliki dampak luas terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Beberapa dampak yang perlu diwaspadai meliputi, melemahnya dukungan Publik terhadap lembaga antikorupsi. Ketika masyarakat menjadi permisif terhadap korupsi, dukungan terhadap lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cenderung menurun. Kondisi ini melemahkan legitimasi lembaga tersebut dan membuat upaya penegakan hukum menjadi kurang efektif.
Permisivitas masyarakat terhadap korupsi membuka peluang bagi meningkatnya praktik suap dan gratifikasi dalam layanan publik, seperti pengurusan dokumen, perizinan, atau layanan kesehatan. Hal ini sangat merugikan masyarakat, terutama kelompok ekonomi lemah yang tidak mampu membayar “uang pelicin”. Korupsi yang dianggap normal oleh masyarakat berisiko menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Tanpa kepercayaan ini, program pembangunan dan kebijakan publik sulit untuk diimplementasikan secara efektif.
Kondisi diperburuk, ketika generasi muda melihat korupsi sebagai sesuatu yang diterima masyarakat, mereka cenderung meniru perilaku tersebut di masa depan. Hal ini menciptakan siklus korupsi yang sulit diputus, mengancam masa depan bangsa.
Strategi Mengatasi Permisivitas Terhadap Korupsi.
Mengatasi penurunan skor IPAK dan membangun kembali budaya antikorupsi membutuhkan strategi yang holistik dan melibatkan berbagai pihak. Ada beberapa langkah yang dapat diambil. Pertama, pemerintah harus memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses pengambilan keputusan dan pengelolaan anggaran. Penerapan teknologi, seperti e-government, dapat mengurangi interaksi langsung antara pejabat dan masyarakat, sehingga peluang korupsi dapat diminimalkan.
Kemudian, penegakan hukum yang Lebih tegas. Hukuman terhadap pelaku korupsi harus diperberat untuk memberikan efek jera. Langkah-langkah seperti mencabut hak politik, menyita aset hasil korupsi, hingga pemberian hukuman maksimal perlu diterapkan secara konsisten.
Tak kalah penting, pendidikan tentang nilai-nilai antikorupsi harus dimulai sejak dini, baik melalui kurikulum sekolah maupun di lingkungan keluarga. Kampanye kesadaran melalui media sosial, televisi, dan komunitas lokal juga penting untuk mengubah persepsi masyarakat tentang korupsi.
Masyarakat perlu diberdayakan untuk memantau dan melaporkan tindakan korupsi melalui saluran yang aman dan terpercaya. Pelapor korupsi harus mendapatkan perlindungan hukum agar tidak takut terhadap ancaman atau balas dendam dari pihak terkait.
Negara-negara seperti Singapura dan Denmark telah berhasil menekan tingkat korupsi melalui tata kelola pemerintahan yang transparan, sistem hukum tegas, dan partisipasi masyarakat yang tinggi. Indonesia dapat belajar dari strategi-strategi ini untuk memperbaiki sistemnya.
Penurunan skor IPK Indonesia pada 2024 harus dilihat sebagai panggilan bagi seluruh elemen bangsa untuk bersatu melawan korupsi yang telah lama menjadi penghambat kemajuan negara. Angka yang terus menurun ini bukan hanya mencerminkan semakin lemahnya sistem tata kelola pemerintahan, tetapi juga menunjukkan perlunya upaya kolektif yang lebih besar untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap komitmen Indonesia dalam memberantas korupsi.
Korupsi bukan sekadar masalah hukum atau administratif, melainkan persoalan mendalam yang merusak berbagai sektor kehidupan.
Dampaknya terlihat nyata, mulai dari hilangnya anggaran yang seharusnya digunakan untuk pelayanan publik, meningkatnya kesenjangan sosial, hingga berkurangnya daya saing bangsa di tingkat global. Jika tidak segera diatasi, korupsi berpotensi menjadi ancaman besar yang dapat merusak fondasi negara dan menghambat pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang.
Namun, situasi ini bukan tanpa harapan. Penanganan korupsi membutuhkan pendekatan yang menyeluruh dan terintegrasi, dimulai dari reformasi tata kelola pemerintahan yang berfokus pada transparansi dan akuntabilitas. Teknologi dapat dimanfaatkan untuk meminimalkan celah terjadinya penyalahgunaan wewenang melalui penerapan sistem digital yang memungkinkan pengawasan lebih efektif.
Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan konsisten adalah elemen krusial. Lembaga penegak hukum perlu diberi dukungan penuh untuk bekerja secara independen dan profesional dalam mengusut tuntas kasus korupsi, tanpa memandang jabatan atau status sosial pelaku.
Pendidikan antikorupsi juga harus menjadi prioritas sebagai investasi jangka panjang. Kesadaran tentang bahaya korupsi dan pentingnya nilai-nilai integritas harus ditanamkan sejak dini. Kurikulum pendidikan harus dirancang untuk menciptakan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki karakter kuat untuk menolak segala bentuk penyimpangan. Kampanye publik melalui media massa dan sosial dapat menjadi pelengkap yang memperluas jangkauan pendidikan antikorupsi hingga ke seluruh lapisan masyarakat.
Yang tak kalah penting adalah peran aktif masyarakat dalam memerangi korupsi. Pemberdayaan masyarakat sebagai garda terdepan dapat dilakukan melalui penguatan mekanisme pelaporan, perlindungan bagi pelapor, dan keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam mengawasi kinerja pemerintah. Semua ini harus didukung oleh keberanian masyarakat untuk bersikap kritis terhadap praktik-praktik korupsi di sekitarnya.
Pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab bersama yang memerlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga penegak hukum, dunia pendidikan, media, dan masyarakat luas. Komitmen bersama adalah kunci untuk membangun budaya antikorupsi yang kokoh. Semangat persatuan dalam memerangi korupsi dapat menjadi modal utama untuk mewujudkan Indonesia yang lebih bersih, transparan, dan bermartabat.
Dengan segala tantangan yang ada, harapan tetap besar bagi bangsa ini untuk bangkit dan meneguhkan kembali prinsip-prinsip kejujuran, integritas, dan keadilan. Indonesia memiliki peluang besar untuk kembali ke jalur yang benar dan menjadikan semangat antikorupsi sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas nasional. Sebab, hanya dengan membangun budaya antikorupsi yang kuat, bangsa ini dapat membuka jalan menuju kesejahteraan yang merata, kemajuan yang berkelanjutan, dan masa depan yang lebih cerah. Korupsi adalah musuh bersama yang harus dilawan hingga tuntas, demi memastikan bahwa cita-cita bangsa, sebagaimana tercantum dalam konstitusi, dapat tercapai sepenuhnya. Mari kita wujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi, di mana keadilan sosial dan kesejahteraan menjadi hak bagi seluruh rakyat tanpa kecuali.
Oleh : Hakim Baihaqi