Mediacirebon.id – “Ketidaksetaraan gender, berarti tidak dilaksanakannya secara penuh demokrasi dan hak asasi manusia.” kata ketua DPR RI, Puan Maharani.
Gender equality atau kesetaraan gender, kesetaraan gender merupakan topik penting dalam SDGs yang diharapkan dapat tercapai pada 2030. Kesataraan gender bukan mengenai tentang laki-laki dan perempuan harus sama-sama bisa dalam melakukan aktivitas fisik yang sama, setara yang dimaksud bukan mengenai fisik namun, mengenai peran, kesetaraan gender lebih ke dalam pengisian suatu peran.
Seperti contohnya laki-laki maupun perempuan dapat menjadi CEO dalam suatu perusahan, tanpa melihat gendernya, yang dinilai harus berdasarkan kemampuan dari individu tersebut untuk memimpin, karena sejatinya perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dan kemampuan yang sama untuk menjadi pemimpin.
Dapat kita lihat kesetaraan gender masih dianggap hal yang tidak penting di kalangan masyarakat desa, seperti contohnya masyarakat desa cenderung untuk menikahkan dini anak perempuannya, karena menanggap tugas menjadi orang tua selesai ketika menikahkan anak perempuannya, dan perempuan usia dini di pedesaan tidak memiliki kontrol atas dirinya sendiri karena pemikiran orang tua tersebut. Padahal anak perempuan memiliki hak yang sama untuk menentukan jalan hidupnya dan menempuh pendidikan setinggi-tingginya.
Di sini mahasiswa dapat masuk untuk memberikan edukasi kepada masyarakat desa mengenai dampak buruk pernikahan dini, bukan cuma itu, mahasiswa juga dapat memberikan solusi kepada orang tua di desa bahwa pentingnya pendidikan untuk anak-anaknya dengan menerapkan langkah berikut.
Langka pertama yang bisa diterapkan oleh para mahasiswa yang berasal dari desa maupun kota yaitu mahasiswa bisa menerapkan di lingkungan keluarga inti terlebih dahulu, lalu keluarga besar, pertemanan, tetangga, dan seterusnya misalkan ada saudara kita tidak boleh kuliah karena orangtuanya berpikir perempuan hanya akan menjadi ibu rumah tangga jadi tidak perlu kuliah, kita harus bisa ambil andil disitu, walau perempuan jadi ibu rumah tangga, tetapi pendidikan nomer satu. Bukan berarti dengan hanya menjadi ibu rumah tangga perempuan tidak mendapatkan pendidikan yang setara, karena seyogyanya menjadi ibu rumah tangga perlu juga menempuh pendidikan tinggi supaya anak anak yang dididik mendapatkan didikan yang berkualitas.
Langkah-langkah berikutnya juga yaitu seperti ketua himpunan/BEM bukan selalu laki-laki, disuarakannya kesetaraan gender dalam event-event kampus sebagai materi, hal tersebut jika terus-menerus dilakukan dapat menjadi kebiasaan dan break the stereotype tentang tabunya kesetaraan gender. Kesetaraan gender juga bukan cuma terus-menerus membahas hak perempuan yang selama ini hilang, tetapi kesetaraan juga membahas hak laki-laki, seperti contohnya kasus pelecehan bukan hanya terjadi pada perempuan tetapi bisa juga terjadi pada laki-laki, seperti contohnya kasus pelecehan yang ada di kpi. Bukan berarti laki-laki tidak berhak mendapat keadilan atas kasus pelecehan dengan tameng “laki-laki kan bisa melindungi dirinya sendiri dari kasus pelecehan.”
Hal tersebut merenggut hak kesetaraan bahwa laki-laki juga mahluk yang membutuhkan keadilan, apapun itu konteksnya. Juga banyak stereotype yang ada di masyarakat bahwa laki-laki itu tidak boleh memasak, “kemayu”. Menjadi tukang masak itu hanya sebuah peran, tidak ada hubungannya dengan tingkat ke maskulinitas para lelaki. Untuk itu kesetaraan gender sangat perlu dibangun dan disosialisasikan di Indonesia.
Jika kesetaraan ini dapat tersosialisasi dan menjadi pemahaman yang baik di masyarakat, saya percaya Indonesia kedepannya memiliki orang-orang berkompeten tanpa terhalangi urusan gendernya.
Mahasiswa sebagai agent of change sudah sepatutnya menjadi motor penggerak bagi kesetaraan gender yang ada di Indonesia. Mahasiswa memiliki kapabilitas ilmu untuk
menyebarluaskan kepada masyarakat-masyarakat awam mengenai kesetaraan gender ini.
Sebagai agen perubahan dunia mahasiswa sudah sepatutnya sadar akan kesetaraan gender, dan ilmu yang didapatkan di bangku kuliah tidak hanya berhenti pada dirinya, tapi dapat bermanfaat untuk khalayak publik. Mahasiswa sudah dipercaya oleh segala kalangan dengan sebutannya “agent of change”dengan kepercayaan tersebut harusnya dapat dilaksanakan dan terciptanya salah satu tujuan SDG’s (kesetaraan gender) pada 2030.
Nama: Aura Cahyaning Is’raz
Universitas Brawijaya, Malang
Mata Kuliah: Bahasa Indonesia
Kelas: 7CL