Mediacirebon.id – Tahun 2024 mendatang merupakan tahun dimana akan diakannya Pemilihan Umum (PEMILU) serentak. Pemilihan umum ini terdiri dari Pemilihan Umum Legislatif (PILEG) yang mana untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten. Secara bersamaan dilaksanakan pula pemilihan umum presiden dan wakil presiden Indonesia. Namun ada yang berbeda pada pemilu kali ini. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa mantan terpidana korupsi boleh mencalonkan diri menjadi anggota legislatif seperti DPR, DPD, DPRD, dan boleh mencalonkan sebagai kepala daerah setelah 5 tahun bebas dari hukuman pidananya.
Dari pernyataan tersebut secara tidak langsung seakan-akan jabatan merupakan sebuah barang yang diobral, bahkan seorang mantan terpidana koruptor pun boleh mecalonkan diri kembali setelah menghianati sebuah amanah yang diberikan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) misalnya, Dewan Perwakilan Rakyat ini sendiri memiliki tugas dan fungsi untuk menyerap, menghimpun, dan menindak lanjuti segala aspirasi dari rakyat. Namun, pada kenyataannya apakah semua itu terlaksana? Jawabannya tidak. Hanya namanya saja dewan perwakilan rakyat, tapi pada kenyataanya tak satupun yang diwakilkan. Tak ada tindak lanjut mengenai segala aspirasi dari rakyat, padahal seharusnya lembaga legislatif yang terdiri dari DPR, DPD, dan DPRD ini menjadi penyambung tangan untuk rakyat menyampaikan aspirasinya, bukan malah menghambat aspirasi rakyat dan menyulitkan rakyat.
Dikutip dari Kompas.com Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum (PEMILU), mantan napi yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif hanya perlu membuat keterangan pernah dipenjara sebagai syarat administratif. Alasan mantan napi boleh mencalonkan diri sebagai anggota lembaga legislatif ialah alasan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada pasal 28 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan ”Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan” .Lalu, Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Kemudian, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah mengatur hak untuk memilih dan dipilih. Lalu Pasal 43 Ayat (1) UU HAM pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu. Bunyinya sebagai berikut ”Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kemudian, Pasal 73 UU HAM mengatur soal pembatasan dan larangan hak serta kebebasan setiap warga. Bunyinya yakni ”Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
Jelas, calon legislatif mantan koruptor ini menuai pro dan kontra. Untuk apa kita kembali mempercayakan sebuah amanah kepada orang yang sudah jelas tidak amanah atas tanggung jawab yang pernah diberikan kepadanya. Meski peraturan tetaplah peraturan yang sudah ditetapkan namun, apa fungsinya jika itu hanya merugikan rakyat semata. Hal ini terlihat bahwasannya sebuah jabatan seperti disepelekan dan dipermainkan, seakan tak ada orang lain lagi yang dapat menjadi anggota legislatif sehingga harus kembali menerima dan mencalonkan orang yang sudah jelas berhianat. Obral jabatan ini membuat suara dan aspirasi rakyat semakin disepelekan dan tidak tersampaikan, tanpa adanya obral jabatan inipun aspirasi rakyat sudah sering tak tersampaikan apa lagi ketika jabatan diobral seperti ini. Jika berbicara mengenai alasan Hak Asasi Manusia (HAM), Hak Asasi kita pun sebagai rakyat telah direnggut oleh dewan perwakilan rakyat seperti suara kita yang tak tersampaikan, hampir banyaknya koruptor dari anggota legislatif, dan kemarin mengenai di Sahkannya UU Cipta Kerja oleh DPR RI yang mana didalamnya terdapat banyak hak rakyat yang diambil.
KPU sendiri dipastikan akan membuat aturan terkait syarat pencalonan anggota DPR pada Pemilu 2024 mendatang. Namun, aturan dan syarat yang ditetapkan KPU tidak boleh bertentangan dengan UU Pemilu yang memiliki kekuatan hukum tetap. Dikutip dari Kompas.com juru bicara PSI Ariyo Bimmo. Ia menyebut masih banyak orang lain yang layak mencalonkan diri. Bimmo menekankan, PSI tidak akan mencalonkan mantan narapidana korupsi pada tahun 2024 mendatang. Bimmo menilai tindak pidana korupsi sebagai bentuk pengkhianatan terhadap urusan publik. Ia mengatakan seharusnya calon koruptor tidak kembali diberi kepercayaan untuk menjadi pengambil keputusan di bidang public. PSI menyayangkan sampai saat ini masih ada partai politik yang memberikan kesempatan kepada Kader-Kadernya yang telah terbukti korupsi untuk kembali menyandang jabatan public. Tidak hanya juru bicara PSI, masyarakat menolak aturan yang memperbolehkan mantan narapidana kasus korupsi menjadi Calon Anggota Legislatif DPR, DPD serta DPRD di Pemilu 2024 mendatang, karena sangat merugikan masyarakat.
Masih banyak orang-orang yang baik bahkan generasi-generasi peneruh bangsa seharusnya yang dimajukan sebagai calon anggota legislatif. Bukan para mantan narapidana yang telah menghianati rakyat yang dimajukan atau dicalonkan kembali, karena itu sangat tidak layak. Sampai kapan Indonesia akan seperti ini? Tidak tegas dan menyepelekan akan suatu kesalahan dan peraturan. Indonesia membutuhkan penyambung aspirasi, Dewan Perwakilan Rakyat yang amanah dan dapat menyampaikan segala keluh kesah rakyat Indonesia. Indonesia tidak membutuhkan nama lembaga legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jika tak ada satupun aspirasi dari rakyat yang tersampaikan ataupun terwakilkan.
Penulis : Ghinayatudz Dzalfahahasiswa
Semester 2 Tadris Biologi IAIN Syekh Nurjati Cirebon |
SUMBER :