Mediacirebon.id – Manusia dikenal sebagai makhluk sosial, makhluk yang hidup didalam kehidupan yang berkelompok atau bermasyarakat. Disinilah gejala sosial yang disebut dengan pelecehan sering timbul dalam kehidupan manusia. Masalah pelecehan seksual ini merupakan persoalan reaksi gender yang sangat luas dan kompleks yang menyangkut dalam aspek kehidupan manusia seperti terdapat pada moral, agama, iman, dan lain-lain.
Belakangan ini, masyarakat kampus kembali dikejutkan oleh isu yang sudah beredar di berbagai macam berita di social media mengenai pelecehan seksual pada salah satu mahasiswi yang bertepatan di cirebon. Pelecehan seksual yang dialami oleh mahasiswi mayoritas terjadi di lingkungan sosial seperti kampus, rumah, ruang publik dan lain-lain. Usia dari mahasiswi cukup bervariasi dan semester yang bervariasi, mulai dari semester 1 hingga
semester akhir. Hal yang sangat memprihatinkan bagi saya sendiri adalah pelaku pelecehan tersebut merupakan dosen yang diampu nya.
Lalu bagaimana kampus menyikapi hal tersebut? Apakah dosen tersebut di jerat Hukum Pidana (KUHP)? Atau perundang-undangan Perguruan? Ya, tentuya masalah ini sangat konkreat yang harus memang dibedah lebih dalam lagi. Berbondong-bondong mahasiswi meminta kejelasan mengenai hal tersebut. Tapi apa hasil nya? Beliau berkata “Saya punya konsisten bagi mahasiswa pelaku peminum keras dan perizinahan akan dikeluarkan dari kampus, siapapun itu ya. Jadi, jangan kaget kalau kalian menemukan orang-orang yang so idealis tapi diduga menjadi salah satu pelaku, jangan kaget ya. Jangan kaget kalau ada teman-teman anda yang so ideal dia adalah pemabuk termasuk juga pelaku seksualitas diluar nikah saya akan geret. Saya akan buktikan ke kalian semua itu. Itu komite lembaga”.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) mengeluarkan peraturan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Pelaksana tugas (plt.) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam mengatakan tujuan utama peraturan ini adalah memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Keterkaitan masalah pelecehan seksual juga sudah jelas dalam Pasal 289 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena
merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun penjara” Pelecehan sering dirasakan sebagai perilaku menyimpang, karena perbuatan tersebut memaksa seseorang terlibat dalam suatu hubungan seksual atau menetapkan seseorang sebagai objek perhatian yang tidak diinginkanya. Artinya, pelecehan seksual dapat berupa sikap yang tidak senonoh, seperti menyentuh anggota tubuh yang vital dan dapat pula hanya berupa kata-kata atau pernyataan yang bernuansa tidak senonoh. Sedangkan orang yang menjadi objek sentuhan atau pernyataan tersebut tidak menyenanginya. Pada 2017, Badan Pusat Statistik merilis hasil survei nasional yang menyebutkan satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya. Sepanjang 2018, Komnas Perempuan mencatat ada 406.178 kasus kekerasan terhadap
perempuan, meningkat dari tahun ke tahun lalu sebesar 14%.
Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan “Kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks dan beragam, dengan intensitas yang meningkat, terjadi di lintas ruang, baik di ranah domestik, publik dan negara”. Hukum pidana di indonesia masihlah sangat lemah untuk mengakomodasi bentukbentuk kekerasan terhadap perempuan. Aktivis mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU penghapusan kekerasan terhadap perempuan (RUU PKS), yang mangkrak sejak diajukan pada tahun 2016. Sampai DPR periode ini berakhir tahun ini, agaknya nasib RUU PKS masih sama: mentok di Senayan, dijadikan subjek penolakan dan bahan disinformasi oleh kalangan konservatif, sementara tuntutan untuk segera disahkan terus menguat dari kelompokkelompok perempuan, akademisi, dan kalangan agamawan progresif di berbagai provinsi. Lalu, apakah pemerintah menyikapi hal tersebut? pemerintah sudah melakukan upaya berjalan terhadap penanganan kekerasan kepada perempuan diseluruh sektor. “pemerintah juga bersama stakeholders (pemangku kepentingan) terkait terus berusaha melakukan usaha pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan baik di ranah personal, ranah publik, komunitas, maupun di dalam ranah negara,” ungkapnya.
Penulis: Muhamad Syahrulloh
Mahasiswa Tadris Biologi IAIN Syekh Nurjati Cirebon