Mediacirebon.id – Kapoksi Komisi VIII DPR RI, Hj. Selly Andriany Gantina menyoroti biaya nikah antara regulasi yang berlaku dengan fakta di lapangan. Pasalnya, masih ditemukan perbedaan yang cukup jauh terkait biaya nikah.
“Kami menerima banyak aspirasi dari masyarakat mengenai perbedaan biaya nikah. Ini yanh harus kami luruskan,” kata Selly saat Muzakarah Urusan Islam Kanwil Kemenag Jabar, Minggu (13/4/2025)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2018 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agama, biaya nikah hanya Rp600 ribu. Sementara fakta di lapangan biaya nikah Rp1 juta sampai Rp1,2 juta.
“Selama ini, ternyata masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa biaya pernikahan hanya Rp600 ribu, apabila ijab qabul dilaksanakan di tempat mempelai,” paparnya.
Masih kata Selly, biaya pernikahan di luar KUA (di rumah atau gedung) akan disetorkan langsung ke kas negara. Sedangkan, pernikahan yang dilakukan di KUA pada hari dan jam kerja tidak dikenakan biaya alias gratis.
Dalam persoalan ini Selly Kaur Keuangan di desa atau biasa disebut Lebe menjadi unsur terpenting sebagai kepanjangan dari Kemenag. Meski bukan di bawah (Kemenag) melainkan pemerintah tingkat desa, Lebe yang bersentuhan langsung mengurus pernikahan.
“Temuan di lapangan menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk memperjelas regulasi terkait tugas dan tanggung jawab lebe, khususnya untuk urusan pernikahan,” jelasnya.
Selama ini, belum ada payung hukum yang secara jelas mengatur status lebe, yang menyebabkan adanya variasi praktik dan potensi kebingungan di masyarakat terkait biaya pernikahan.
“Terlebih, status lebe di setiap desa juga berbeda-beda. Ada yang memang masuk struktur pemerintah desa dan mendapat honor, ada juga yang di luar struktur dan tidak mendapat honor bulanan,” paparnya.
Selly juga mengakui, peran lebe di desa masih sangat krusial dan perlu mendapat perhatian lebih, terutama dari segi pembinaan, pelatihan, serta dukungan kesejahteraan
Sebab itu, Selly mendorong evaluasi menyeluruh terhadap praktik pelayanan pernikahan dan posisi lebe di masyarakat. Diharapkan, ke depan akan ada regulasi yang lebih jelas agar lebe dapat berperan secara optimal dalam sistem yang resmi, adil, dan sejahtera.
“Dengan penguatan regulasi dan perhatian dari pemerintah, lebe dapat terus menjalankan fungsinya dalam mendampingi masyarakat, sekaligus menjadi bagian penting dari sistem pelayanan keagamaan yang lebih terstruktur dan profesional,” katanya.
Sebagai penutup, Selly menyarankan agar KUA dapat memasang banner atau informasi resmi mengenai biaya pernikahan sesuai regulasi pemerintah. Ini penting untuk memberikan transparansi sekaligus edukasi kepada masyarakat, sehingga semua pihak memiliki pemahaman yang sama mengenai proses dan biaya yang sah. (Why)