Mediacirebon.id – Forum Pengada Layanan (FPL) merupakan jaringan lembaga layanan untuk Perempuan
korban kekerasan yang beranggotakan 74 lembaga di 32 Provinsi di Indonesia
FPL merupakan salah satu bagian dari masyarakat sipil yang mengadvokasi lahirnya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU-TPKS)
Sejak saat itu UU ini menjadi pedoman dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual mulai dari proses pelaporan, penyidikan, penuntutan hingga pengadilan.
FPL mengapresiasi kerja keras pemerintah yang telah melakukan pembahasan penyusunan peraturan pelaksana UU TPKS sejak awal tahun 2023. Namun pemerintah hanya membahas tujuh peraturan pelaksana UU-TPKS dari 10 yang disebutkan.
Dengan adanya informasi ini FPL memiliki kekhawatiran bahwa peraturan pelaksana tersebut tidak mampu menjawab masalah penanganan kasus kekerasan seksual di lapangan.
Menanggapi hal tersebut, FPL melakukan audiensi kepada pemerintah melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (PPPA) untuk membuka ruang dialog dan melibatkan lembaga layanan
berbasis masyarakat.
Dengan adanya ruang dialog, memberikan kesempatan FPL untuk menyampaikan pandangan terkait implementasi UU TPKS. FPL telah menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan bahan lobby yang disusun melalui serangkaian diskusi, refleksi dan kajian berdasar pengalaman pendampingan kasus.
Akan tetapi sampai pada 22 November 2023, belum satupun peraturan pelaksana yang diterbitkan oleh pemerintah. Sementara di lapangan UU TPKS telah digunakan dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual.
Terdapat beberapa permasalahan dalam penerapan UU TPKS ketika peraturan pelaksana ini belum disusun. Korban masih mengalami reviktimisasi, stigma, dan bahkan laporannya ditolak.
Contoh kasus
Pelaku (SM, 25 tahun) merupakan teman dekat Korban (FR, 25 tahun). Saat itu mereka dalam proses menjalin hubungan yang lebih serius. Kemudian pelaku memanipulasi Korban untuk melakukan “staycation” dan berjanji tidak akan bertindak jauh, tetapi kemudian pelaku melakukan pemerkosaan kepada Korban dan berusaha meyakinkan Korban bahwa yang dia lakukan adalah bentuk dari kasih sayang.
Korban memutuskan untuk melaporkan perbuatan pelaku ke kantor kepolisian namun, laporan Korban ditolak oleh polisi karena dianggap tidak cukup bukti. Aparat juga menilai peristiwa persetubuhan yang terjadi pada dasarnya suka sama suka, karena korban dinilai sudah dewasa dan korban mau diajak “staycation” oleh pelaku.
Tentu saja hal tersebut tidak sesuai dengan semangat awal penyusunan UU TPKS yaitu menjamin akses keadilan bagi Korban. Hal ini dikarenakan substansi UU TPKS masih belum dipahami oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dan belum ada perspektif keberpihakan pada korban